Buku Harian Seorang Penderita Myalgic Encephalopathy
Berikut tulisan tentang wanita yang tega dibunuh oleh Ibu kandungnya sendiri
Pantaskah seorang ibu melakukannya?
Atau bagaimana perasaan seorang Ibu yang tega membunuh anaknya sendiri
Pantaskah sang Ibu didera hukuman atas tindakannya itu...?
Dikutip dari Nurul Ulfah - detikHealth semoga memberi arti bagi kita dalam menghargai dan mensyukuri diri sendiri...Smangat...Kamis, 28/01/2010 08:03 WIB
London, Hampir 17 tahun Lynn Gilderdale menderita penyakit Myalgic Encephalopathy atau ME yang mematikan. Selama itu pula keinginannya untuk bunuh diri selalu muncul. Keinginan Lynn akhirnya terwujud setelah sang ibu rela membantunya mengakhiri hidup.
Sebelum meninggal, Lynn meninggalkan diary atau catatan harian yang sangat mengharukan tentang keputusasaannya mengidap penyakit ME. Namun gara-gara membantu kematian anaknya, ibu Lynn sempat diadili karena kasus percobaan bunuh diri.
Lynn memang sudah meninggal dunia pada Desember 2008, namun catatan harian online yang pernah ia bagikan pada sahabatnya baru muncul baru-baru ini di media.
Berikut ini adalah testimoni dari catatan harian berjudul 'Do Not Resuscitate' atau 'Jangan Hidupkan Lagi' yang dibuat Lynn, seperti dilansir Timesonline, Kamis (28/1/2010),
"Saya tidak tahu bagaimana harus memulainya. Saya hanya ingin mati dan berharap semua orang mengerti dengan alasan dan keputusan saya. Saya sangat, sangat, sangat ingin mati karena sakit ini sudah tak tertahan lagi. Lebih dari 16 tahun saya mengidap penyakit mematikan ini, saya lelah dan merasa tidak bisa menanggung penyakit ini lagi untuk setiap detik, menit dan harinya.
Saya tidak bisa lagi menggantung harapan bahwa suatu hari saya bisa sembuh. Keputusan untuk mati ini sudah sangat lama dan keras saya pikirkan. Saya yakin hanya itu yang saya inginkan untuk saat ini. Meskipun hal ini sudah didiskusikan panjang lebar dengan orang tua saya, tapi mereka benar-benar tidak rela jika saya pergi.
Saya sudah coba mengakhiri hidup dengan menyuntikkan morfin dosis tinggi ke dalam pembuluh darah, tapi ternyata tubuh ini sudah toleran terhadap morfin. Dari situlah orang tua saya pertama kali tahu betapa depresinya saya. Saya sudah berusaha menyembunyikan perasaan tersebut dengan menampakkan wajah ceria di depan mereka. Tapi saya justru diberi obat antidepresi.
Obat-obatan berhasil membuat saya berhenti menangis terus menerus, tapi tidak bisa menghentikan keinginan saya untuk tidak berada di planet ini lagi. Tidak ada yang bisa mengubah pikiran itu. Saya tahu kemungkinan untuk sembuh dan menjalani hidup dengan normal seperti yang saya bayangkan sangatlah tipis.
Rahim saya sudah diangkat. Saya tidak akan pernah bisa mewujudkan keinginan favorit saya untuk punya anak. Saat ini saya berusia 31 tahun dan seharusnya sudah punya pasangan. Tulang saya sudah oesteoporosis, setiap kali batuk atau bersin, risiko patah tulang bisa saja terjadi. Semua impian saya untuk bisa berenang, berperahu, berlari, bersepeda sudah sirna sejak saya mengidap penyakit ini di usia 14 tahun.
Tubuh ini sudah lelah dan semangat hidup saya sudah patah. Saya merasa cukup. Saya mengerti jika orang-orang mengira saya depresi berat, tapi keinginan untuk meninggalkan semua rasa sakit ini terus memuncak. Saya benar-benar ingin mati. Saya tidak tahu lagi berapa jam yang sudah saya habiskan untuk mendiskusikan keinginan ini dengan ibu. Tapi ia selalu berusaha mati-matian mengubah pandangan dan pola pikir saya.
Sampai saat ini saya masih bisa bertahan karena tabung-tabung medis, pompa dan obat-obatan. Tanpa semua teknologi modern ini, saya tidak akan ada disini. Bayangkan Anda berada di sebuah ruangan kecil dan terdampar di atas kasur selama 16 tahun. Bayangkan menjadi perawan di usia 30 tahun dan tidak pernah tahu rasanya ciuman. Bayangkan rasa sakit mempunyai tulang seorang wanita berusia 100 tahun dan tidak bisa bergerak kemana-mana karena risiko patah tulang. Bayangkan ibu Anda mengelap tubuh dan membersihkan kotoran Anda setiap saat. Bayangkan terpenjara di dalam hidup yang menyedihkan.
Saya tidak perlu membayangkan semua itu karena tubuh dan pikiran saya sudah hancur. Saya sangat putus asa dengan sakit ini. Saya mencintai kedua orang tua saya, tapi saya tidak bisa memberikan apa-apa untuk mereka. Saya justru menyandarkan hidup pada mereka dan menyita waktunya. Saya tahu hati mereka sebenarnya sangat hancur dan tidak ingin kehilangan saya. Bahkan mereka mengatakan lebih baik meninggal atau merasakan hal yang sama dengan saya. Saya sangat beruntung punya orang tua yang sangat luar biasa.
Tapi maafkan saya Ibu, Ayah, saya benar-benar ingin mati. Mereka terus menanyakan apakah hal itu yang benar-benar saya inginkan. Saya tidak bisa membayangkan betapa sulitnya ini semua bagi mereka. Saya tahu mereka tidak ingin kehilangan saya, tapi di sisi lain mereka juga tidak ingin saya menderita terus menerus karena penyakit ini. Saya tahu saya sudah bersifat egois karena mendahulukan kepentingan saya di atas kepentingan mereka. Tapi saya tidak bisa melakukan hal ini seorang diri tanpa bantuan orang tua saya".
Catatan itu ditulis Lynn pada awal tahun 2008, hingga akhirnya pada Desember 2008, sang ibu Kay Gilderdale merasa tidak punya pilihan lagi selain membantu anaknya mengakhiri hidupnya. Bukan karena ia ingin Lynn pergi meninggalkannya atau karena lelah berdiskusi dengannya, tapi karena ia ingin Lynn keluar dari kegelapan.
Kay yang merupakan mantan perawat itu akhirnya menyuntikkan morfin dengan dosis berlipat-lipat ganda pada anaknya. Tapi Lynn masih belum meninggal dengan suntikan morfin itu. Kay pun panik dan mencobanya lagi, tapi kali ini ditambah beberapa pil dan suntikan udara. Dan saat itulah Lynn akhirnya meninggal dunia.
Atas tuduhan membantu sang anak bunuh diri, Kay sempat dibawa ke pengadilan. Namun kurang dari 2 jam, ia dinyatakan tidak bersalah karena kasusnya bukan percobaan pembunuhan, tapi atas seizin anaknya.
Lynn terdiagnosa penyakit ME saat usianya 14 tahun. Penyakit itu mengubahnya dari seorang gadis remaja aktif menjadi seorang yang pendiam dan tak berdaya.
Penyakit ME atau yang dikenal dengan Chronic Fatigue Syndrome (CFS) mempengaruhi hampir semua bagian saraf dan sistem imun tubuh. Gejala umumnya adalah rasa lelah dan letih yang sangat parah, memiliki masalah ingatan, konsentrasi dan otot yang lelah. Akibatnya seseorang tidak akan bisa melakukan apapun dengan kondisi demikian.
Penyebab pasti penyakit ini sampai sekarang belum diketahui, tapi beberapa infeksi viral seperti demam yang berhubungan dengan kelenjar serta trauma bisa memicu penyakit ini. Tidak ada obat yang benar-benar efektif mengatasi penyakit ini.(fah/ir)
sumber : catatan facebook
Pantaskah seorang ibu melakukannya?
Atau bagaimana perasaan seorang Ibu yang tega membunuh anaknya sendiri
Pantaskah sang Ibu didera hukuman atas tindakannya itu...?
Dikutip dari Nurul Ulfah - detikHealth semoga memberi arti bagi kita dalam menghargai dan mensyukuri diri sendiri...Smangat...Kamis, 28/01/2010 08:03 WIB
London, Hampir 17 tahun Lynn Gilderdale menderita penyakit Myalgic Encephalopathy atau ME yang mematikan. Selama itu pula keinginannya untuk bunuh diri selalu muncul. Keinginan Lynn akhirnya terwujud setelah sang ibu rela membantunya mengakhiri hidup.
Sebelum meninggal, Lynn meninggalkan diary atau catatan harian yang sangat mengharukan tentang keputusasaannya mengidap penyakit ME. Namun gara-gara membantu kematian anaknya, ibu Lynn sempat diadili karena kasus percobaan bunuh diri.
Lynn memang sudah meninggal dunia pada Desember 2008, namun catatan harian online yang pernah ia bagikan pada sahabatnya baru muncul baru-baru ini di media.
Berikut ini adalah testimoni dari catatan harian berjudul 'Do Not Resuscitate' atau 'Jangan Hidupkan Lagi' yang dibuat Lynn, seperti dilansir Timesonline, Kamis (28/1/2010),
"Saya tidak tahu bagaimana harus memulainya. Saya hanya ingin mati dan berharap semua orang mengerti dengan alasan dan keputusan saya. Saya sangat, sangat, sangat ingin mati karena sakit ini sudah tak tertahan lagi. Lebih dari 16 tahun saya mengidap penyakit mematikan ini, saya lelah dan merasa tidak bisa menanggung penyakit ini lagi untuk setiap detik, menit dan harinya.
Saya tidak bisa lagi menggantung harapan bahwa suatu hari saya bisa sembuh. Keputusan untuk mati ini sudah sangat lama dan keras saya pikirkan. Saya yakin hanya itu yang saya inginkan untuk saat ini. Meskipun hal ini sudah didiskusikan panjang lebar dengan orang tua saya, tapi mereka benar-benar tidak rela jika saya pergi.
Saya sudah coba mengakhiri hidup dengan menyuntikkan morfin dosis tinggi ke dalam pembuluh darah, tapi ternyata tubuh ini sudah toleran terhadap morfin. Dari situlah orang tua saya pertama kali tahu betapa depresinya saya. Saya sudah berusaha menyembunyikan perasaan tersebut dengan menampakkan wajah ceria di depan mereka. Tapi saya justru diberi obat antidepresi.
Obat-obatan berhasil membuat saya berhenti menangis terus menerus, tapi tidak bisa menghentikan keinginan saya untuk tidak berada di planet ini lagi. Tidak ada yang bisa mengubah pikiran itu. Saya tahu kemungkinan untuk sembuh dan menjalani hidup dengan normal seperti yang saya bayangkan sangatlah tipis.
Rahim saya sudah diangkat. Saya tidak akan pernah bisa mewujudkan keinginan favorit saya untuk punya anak. Saat ini saya berusia 31 tahun dan seharusnya sudah punya pasangan. Tulang saya sudah oesteoporosis, setiap kali batuk atau bersin, risiko patah tulang bisa saja terjadi. Semua impian saya untuk bisa berenang, berperahu, berlari, bersepeda sudah sirna sejak saya mengidap penyakit ini di usia 14 tahun.
Tubuh ini sudah lelah dan semangat hidup saya sudah patah. Saya merasa cukup. Saya mengerti jika orang-orang mengira saya depresi berat, tapi keinginan untuk meninggalkan semua rasa sakit ini terus memuncak. Saya benar-benar ingin mati. Saya tidak tahu lagi berapa jam yang sudah saya habiskan untuk mendiskusikan keinginan ini dengan ibu. Tapi ia selalu berusaha mati-matian mengubah pandangan dan pola pikir saya.
Sampai saat ini saya masih bisa bertahan karena tabung-tabung medis, pompa dan obat-obatan. Tanpa semua teknologi modern ini, saya tidak akan ada disini. Bayangkan Anda berada di sebuah ruangan kecil dan terdampar di atas kasur selama 16 tahun. Bayangkan menjadi perawan di usia 30 tahun dan tidak pernah tahu rasanya ciuman. Bayangkan rasa sakit mempunyai tulang seorang wanita berusia 100 tahun dan tidak bisa bergerak kemana-mana karena risiko patah tulang. Bayangkan ibu Anda mengelap tubuh dan membersihkan kotoran Anda setiap saat. Bayangkan terpenjara di dalam hidup yang menyedihkan.
Saya tidak perlu membayangkan semua itu karena tubuh dan pikiran saya sudah hancur. Saya sangat putus asa dengan sakit ini. Saya mencintai kedua orang tua saya, tapi saya tidak bisa memberikan apa-apa untuk mereka. Saya justru menyandarkan hidup pada mereka dan menyita waktunya. Saya tahu hati mereka sebenarnya sangat hancur dan tidak ingin kehilangan saya. Bahkan mereka mengatakan lebih baik meninggal atau merasakan hal yang sama dengan saya. Saya sangat beruntung punya orang tua yang sangat luar biasa.
Tapi maafkan saya Ibu, Ayah, saya benar-benar ingin mati. Mereka terus menanyakan apakah hal itu yang benar-benar saya inginkan. Saya tidak bisa membayangkan betapa sulitnya ini semua bagi mereka. Saya tahu mereka tidak ingin kehilangan saya, tapi di sisi lain mereka juga tidak ingin saya menderita terus menerus karena penyakit ini. Saya tahu saya sudah bersifat egois karena mendahulukan kepentingan saya di atas kepentingan mereka. Tapi saya tidak bisa melakukan hal ini seorang diri tanpa bantuan orang tua saya".
Catatan itu ditulis Lynn pada awal tahun 2008, hingga akhirnya pada Desember 2008, sang ibu Kay Gilderdale merasa tidak punya pilihan lagi selain membantu anaknya mengakhiri hidupnya. Bukan karena ia ingin Lynn pergi meninggalkannya atau karena lelah berdiskusi dengannya, tapi karena ia ingin Lynn keluar dari kegelapan.
Kay yang merupakan mantan perawat itu akhirnya menyuntikkan morfin dengan dosis berlipat-lipat ganda pada anaknya. Tapi Lynn masih belum meninggal dengan suntikan morfin itu. Kay pun panik dan mencobanya lagi, tapi kali ini ditambah beberapa pil dan suntikan udara. Dan saat itulah Lynn akhirnya meninggal dunia.
Atas tuduhan membantu sang anak bunuh diri, Kay sempat dibawa ke pengadilan. Namun kurang dari 2 jam, ia dinyatakan tidak bersalah karena kasusnya bukan percobaan pembunuhan, tapi atas seizin anaknya.
Lynn terdiagnosa penyakit ME saat usianya 14 tahun. Penyakit itu mengubahnya dari seorang gadis remaja aktif menjadi seorang yang pendiam dan tak berdaya.
Penyakit ME atau yang dikenal dengan Chronic Fatigue Syndrome (CFS) mempengaruhi hampir semua bagian saraf dan sistem imun tubuh. Gejala umumnya adalah rasa lelah dan letih yang sangat parah, memiliki masalah ingatan, konsentrasi dan otot yang lelah. Akibatnya seseorang tidak akan bisa melakukan apapun dengan kondisi demikian.
Penyebab pasti penyakit ini sampai sekarang belum diketahui, tapi beberapa infeksi viral seperti demam yang berhubungan dengan kelenjar serta trauma bisa memicu penyakit ini. Tidak ada obat yang benar-benar efektif mengatasi penyakit ini.(fah/ir)
sumber : catatan facebook
0 komentar:
Posting Komentar